Tubuh ideal adalah dambaan semua orang, baik laki-laki maupun perempuan. Tubuh ideal adalah tubuh yang relatif proporsional dengan tinggi badan, atau secara umum dapat dikatakan tidak gemuk dan juga tidak kurus. Proporsi ideal ini dapat dihitung dengan menggunakan Indeks Massa Tubuh (IMT), yaitu angka penilaian standar berdasarkan proporsi perbandingan tinggi badan dan berat badan, sehingga dapat dikategorisasikan dalam golongan normal, kurang, berlebih, atau obesitas.
Namun realitasnya, banyak di antara individu terutama wanita terkadang tidak menggunakan acuan IMT dalam memersepsikan bentuk tubuhnya. Proporsi tubuh sudah sesuai dengan IMT normal, namun masih merasa gemuk atau kurang ideal. Gambaran tentang tubuh ideal antara persepsi dan realitas terkadang tidak sinkron. Hal tersebut memicu munculnya body image yang negatif, terlebih banyaknya media digital maupun sosial yang memunculkan tipe tubuh ideal, dari rambut hingga kaki.
Standar penampilan yang ditampilkan oleh media akan mempengaruhi persepsi seseorang terhadap penampilan dirinya. Seseorang yang merasa tidak sesuai dengan standar penampilan tersebut akan mengalami ketidakpuasan terhadap body image yang dapat menyebabkan munculnya gangguan psikologis. Individu akan terus menerus terbebani dengan obsesi untuk menyesuaikan standar penampilan tersebut dengan melakukan diet ketat, olah raga yang berlebihan hingga melakukan operasi plastik untuk menunjang penampilannya.
Brewis (2011) menyatakan bahwa orang-orang yang gemuk (obesitas) di beberapa kelompok masyarakat cenderung mengalami kerugian secara sosial yang lebih besar daripada secara fisik/kesehatan. Bentuk tersebut berupa pelecehan, stigmatisasi, marginalisasi, dan diskriminasi. Lebih lanjut menurut Wolf (2004) sebagian korbannya adalah kaum wanita karena stigmatisasi kegemukan dinilai sebagai bukti dominasi budaya patriarki yang ingin menekan kebebasan wanita dengan memanipulasi tubuh wanita itu sendiri.
Body Image (Citra Tubuh) dan Realitas Tubuh Ideal
Body image adalah gambaran mental individu terhadap bentuk dan ukuran tubuhnya. Body image terkait dengan persepsi dan penilaian individu atas apa yang dipikirkan dan rasakan terhadap tubuhnya, baik bentuk maupun ukuran (Honigman &, 2007). Body image melibatkan juga bagaimana individu menilai persepsi orang lain terhadap dirinya. Dapat dikatakan bahwa body image merupakan bagaimana seseorang berpikir, merasa, dan mempersepsikan kondisi fisik dirinya.
Cash (2002) mengemukakan ada lima aspek dalam pengukuran body image yaitu, evaluasi penampilan, orientasi penampilan, kepuasan terhadap bagian tubuh, kecemasan menjadi gemuk, dan pengkategorian ukuran tubuh.
Terdapat dua macam body image, yaitu body image positif dan body image negatif (Melliana, 2006). Body image positif adalah persepsi yang benar tentang bentuk tubuh yang dimiliki dan merasa nyaman dengan hal tersebut. Sedangkan body image negatif adalah persepsi yang menyimpang dari bentuk yang dimiliki dan cenderung merasa malu dan tidak dapat menerima kondisi tersebut.
Body image ini dapat dikatakan bersifat subjektif. Body image sangat erat kaitannya dengan aspek psikologis, sehingga tidak jarang memicu munculnya masalah psikologis tertentu apabila individu tersebut menilai dirinya negatif. Body image negatif sering ditemui pada remaja perempuan dibandingkan remaja laki-laki (Chairiah, 2012).
Body image ini menjadi penting terutama bagi remaja karena proses perubahan transisi dari anak ke dewasa yang dialami akan berdampak pada tahapan perkembangan remaja selanjutnya (Cash, 2012). Apabila terdapat gangguan pada tahap perkembangan transisi tersebut, secara tidak langsung akan berpengaruh hingga dewasa.
Individu yang tidak percaya diri akan bentuk tubuhnya, cenderung memiliki body image negatif. Kondisi tersebut tentunya akan mempengaruhi kesehatan mental, seperti munculnya kecenderungan depresi dan kecemasan terutama terkait dengan hubungan sosial. Tidak jarang masalah tersebut berimbas pada distorsi bentuk tubuh yang lebih parah, seperti body dismorfic disorder, atau gangguan psikologis lainnya seperti gangguan makan, yaitu bulimia nervosa dan anoreksia nervosa (Quamila, 2017). Gangguan psikologis tersebut tidak hanya akan berdampak pada diri sendiri tetapi juga akan berdampak pada generasi berikutnya.
Adapun beberapa faktor yang dapat menyebabkan seseorang memiliki body image yang negatif. Yang pertama berasal dari dalam diri individu (faktor internal) yakni ada perasaan tidak puas dan tidak percaya diri terhadap body image yang dimiliki, yang kedua adalah faktor eksternal yakni pengaruh lingkungan sosial langsung maupun lewat media.
Media memainkan peran yang cukup signifikan untuk menciptakan body image yang tidak realistis di masyarakat. Yang pada akhirnya seseorang akan terpengaruh dan memaksakan diri untuk dapat menyamai ukuran standar tersebut agar dapat diterima di masyarakat.
Seseorang yang memiliki body image positif jika mampu menilai diri apa adanya. Body image yang positif dapat membuat kondisi psikologis seseorang lebih terjaga. Seseorang tersebut cenderung merasa percaya diri, puas dengan apa yang dimilikinya. Dan tentu saja, akan lebih dapat menikmati kehidupannya karena lebih mencintai tubuhnya dan akan menjaga tubuh akan kecukupan nutrisi yang diperlukan.
Menurut Damayanti (2018) diperlukan penerimaan diri yang positif untuk meningkatkan kepercayaan diri, khususnya pada remaja putri semakin tinggi harga diri maka body image yang dimiliki juga semakin positif, khususnya bagi remaja putri usia 12-15 tahun (Nurvita & Handayani, 2015). Untuk dapat membangun body image yang positif, diperlukan beberapa alternatif cara, diantaranya:
- Fokus terhadap rasa syukur mengenai hal positif yang ada pada tubuh, setiap hari sugestikan rasa terima kasih kepada Tuhan terhadap fisik yang dianugerahkan. Dengan melihat bagian tubuh yang dapat berfungsi dengan baik merupakan hal yang harus disyukuri.
- Menjaga kesehatan juga merupakan wujud membangun body image positif, yaitu dengan melakukan pola makan yang baik, berolah raga, serta istirahat yang cukup dapat membuat seseorang lebih sehat.
- Jangan membandingkan diri sendiri dengan orang lain, karena dengan terus menerus membandingkan diri sendiri dengan orang lain akan membuat seseorang menjadi lebih tidak puas. Dengan melakukan hal tersebut, berarti seseorang tidak dapat menghargai dirinya sendiri.
DaftarPustaka
Brewis, A. A. (2011). Obesity: Cultural and Biocultural Perspectives. London: Rutgers. University Press
Cash, T. F. (2012). Cognitive-Behavioral Perspectives on Body Image. Encyclopedia of Body Image and Human Appearance, 1.
Cash, T. F., & Pruzinky. (2002).Body Image: A Handbook of Theory, Research and Clinical Practice. New York: Guilford Press
Chairiah, P. (2012). Hubungan Gambaran Body Image Terhadap Pola Makan Remaja Putri di SMAN 38 Jakarta (Skripsi). Universitas Indonesia.
Damayanti, A A. M. (2018). Peran Citra Tubuh dan Penerimaan Diri terhadap Self Esteem pada Remaja Putri di Kota Denpasar. Diakses pada tanggal 14 Februari 2019 dari laman https://sinta.unud.ac.id/uploads/dokumen_dir/24629481b73788db69cdc45b0ed064cb.pdf.
Honigman, R., & Castle, D. J. (2007). Living with your looks. Victoria: University of Western Australia Press.
Melliana, A. (2006). Menjelajah Tubuh Perempuan dan Mitos Kecantikan. Yogyakarta: LkiS.
Nurvita, V., & Handayani, M. M. (2015). Hubungan Antara Self-esteem dengan Body Image pada Remaja Awal yang Mengalami Obesitas. Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental, 4 (1).
Quamila, A. (2017, September 6). Berbagai Gangguan Kesehatan Akibat Body Image Negatif. Hello Sehat dari laman https://hellosehat.com/hidup-sehat/psikologi/gangguan-kesehatan-akibat-body-image-negatif/
Wolf, N. (2002). Mitos Kecantikan: Kala kecantikan Menindas Perempuan. Yogyakarta: Niagara.