Buletin Jagaddhita Vol. 1, No. 4, Mei 2019

pISSN 2656-8225 | eISSN 2656-0089

Guru Sebagai Agen Perubahan Perilaku Perundungan

Perundungan adalah kekerasan fisik, verbal, atau relational yang sistematis (Rigby, 2003) dilakukan berulang-ulang kepada seseorang yang tidak dapat membela dirinya (Olweus, 1993). Perilaku ini biasanya diarahkan secara langsung kepada target dan dilakukan sepanjang waktu, yang melibatkan adanya perbedaan kekuatan antara target dan pelaku (Olweus, 1993).

Perilaku ini dilakukan dengan bentuk sikap memusuhi, merugikan atau perilaku merusak yang diarahkan kepada orang lain dan merupakan reaksi kemarahan yang dapat berupa reaksi fisik atau kata-kata dan dapat ringan atau kuat (Hurlock, 2008). Individu tidak ragu-ragu melukai orang lain dengan cara apa pun, seperti memukul, menggigit, meludah, menyepak, meninju dan mendorong.

Craig & Pepler (1999) mengidentifikasi empat kondisi kritis yang membedakan perundungan dengan bentuk lain dari perilaku agresif yaitu:

  1. Kemampuan (power): Anak yang melakukan perundungan mendapatkan dukungan, baik secara fisik dan non fisik dari kelompok sebaya untuk melakukan perundungan;
  2. Memiliki maksud mengganggu: Anak yang melakukan perundungan secara umum melakukan tindakan dengan maksud mengganggu fisik atau emosi anak lain;
  3. Penderitaan pada korban: Perlu dilakukan antisipasi ketakutan pada pikiran anak yang mengalami perundungan, karena dapat memiliki efek jangka panjang dan dapat mengganggu perkembangan anak;
  4. Frekuensi: Perundungan bukanlah tindakan yang tidak disengaja, perundungan biasanya memiliki karakteristik dengan frekuensi dan pengulangan penyerangan. Bagaimanapun, dalam beberapa situasi perundungan dapat mengakibatkan trauma dan kondisi yang menakutkan bagi korban, sehingga perlu adanya usaha mengurangi peristiwa perundungan.

Perundungan di lingkungan sekolah

Perundungan sudah menjadi sebuah budaya dalam lingkungan sekolah. Terkadang guru tidak menyadari bahwa perilaku perundungan sedang terjadi di depan mata. Namun, masih ada guru yang menanggapinya dengan tidak serius karena menganggap bahwa perundungan adalah hal yang sudah biasa dilakukan sebagai bagian dari tradisi sekolah itu sendiri. Sehingga, pada umumnya, perundungan baru diperhatikan jika ada korban terluka parah, ada orang tua yang berani melaporkan ke pihak yang berwajib atau sudah terjadi korban yang meninggal (Sarwono & Meinarno, 2009).

Salah satu penyebab terjadinya perundungan menurut National Youth Violence Prevention Resource Center (2002) adalah iklim sekolah yang tidak kondusif. Iklim tidak kondusif salah satunya disebabkan oleh jumlah siswa yang terlalu banyak dalam satu kelas sehingga memicu timbulnya perundungan di kalangan siswa (Elliot, 2008).

Dari kondisi tersebut, guru memiliki  peranan  yang  sangat  besar dalam  dinamika  kelas.  Sebagai  pihak yang  dinilai  memiliki  otoritas  atas jalannya  suatu  kegiatan  belajar,  guru dituntut untuk dapat menciptakan  iklim kelas  yang  kondusif. Iklim kelas yang memungkinkan interaksi sehat antar komponen kelas, ditandai dengan  penghargaan dan  kesadaran akan perbedaan tiap-tiap siswa di kelas.

Hanya saja, kurangnya pengawasan guru pada saat jam istirahat, ketidakpedulian guru dan siswa terhadap perilaku perundungan, serta penerapan peraturan anti perundungan yang tidak konsisten menumbuhsuburkan iklim tidak kondusif sehingga terjadi perundungan di sekolah.

Selain itu, latar belakang sekolah juga turut mempengaruhi terjadinya perundungan. Secara konseptual, perundungan cenderung terjadi di sekolah yang kurang memiliki pengawasan, longgar dalam menerapkan aturan dan sikap serta pandangan yang tidak tegas dari pihak-pihak pemegang otoritas terhadap perundungan (Elliot, 2008).

Agen Perubahan Perilaku Perundungan

Sebagai strategi penanganan perilaku perundungan di sekolah, komitmen guru menjadi faktor yang menentukan dalam penurunan kasus perundungan (Craven et al, 2008). Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian Newman dan Horne (2004), yang menyatakan bahwa perilaku perundungan pada anak-anak dapat berkurang secara signifikan berkat kerja sama masyarakat, konselor, guru dan siswa.

Guru dapat menjadi agen kunci penanganan perilaku perundungan (Hirschstein et al., 2007). Guru memiliki jangkauan paling luas untuk melakukan intervensi (Swearer & Espelage, 2011), yang secara intens berinteraksi dengan siswa baik pelaku, korban maupun penonton. Guru juga dapat melakukan kontak dengan orang tua dan yang paling penting memiliki peran utama dalam menciptakan sekolah aman.

Guru dapat menangani perundungan dengan mengkondisikan kelas melalui penerapan strategi pengaturan perilaku (Crothers & Kolbert, 2008). Meskipun pada kenyataannya guru hanya sedikit berperan dalam penanganan perundungan di lingkungan sekolah, termasuk dalam upaya pemanggilan pelaku (Nugroho, 2009).

Kebanyakan guru belum merespon peristiwa perundungan secara efektif dan cenderung mengabaikan (Bauman and Del Rio, 2005). Salah satu penyebab minimnya penanganan yang dilakukan guru adalah pengetahuan guru yang rendah mengenai perilaku perundungan (SEJIWA, 2006). Guru merasa bahwa dirinya tidak memiliki keterampilan untuk menangani perundungan (Newman & Horne, 2004), belum memahami pengertian perundungan secara keseluruhan, tidak memiliki kepercayaan diri untuk merespon perilaku perundungan, memiliki rasa takut akan membuat sesuatu yang lebih buruk bagi korban (Brooks, 2004), dan merasa takut untuk bertanggungjawab dalam kasus yang melibatkan kekerasan (Ting, Sanders, & Smith, 2002), sehingga membuat guru sering kali gagal mengatasi perilaku perundungan.  Padahal, semakin guru memahami dan memiliki keterampilan maka penanganannya menjadi lebih intensif (Newman, Horne, & Bartolomucei, 2000).

Oleh karenanya, diperlukan edukasi, informasi maupun pelatihan untuk guru agar dapat membentuk sikap dan perilaku respect pada diri dan orang lain sebagai upaya strategis pencegahan kekerasan (perundungan) di sekolah  (Hujaroh,et.all, 2009).

 

Daftar Pustaka

Bauman, S., & Del Rio, A. (2005). Knowledge and beliefs about bullying in schools: Comparing pre-service teachers in the United States and the United Kingdom. School Psychology International, 26, 428-442.

Brooks, J.V.O (2004). Bully busting: A teacher – led psychoeducational program to reduce bullying and victimization among elementary school students, (A dissertation). Submitted to the graduate faculty of the university of Georgia inpartial fulfillment of requirements for degree. Athens, Georgia.

Craig, W.M., & Pepler, D.J. (1999). Children who bully – will they just grow out of it?. Orbit, 29:16-19.

Craven, R. G., Finger, L., & Yeung, A. S. (2008). Beyond Bullying in Primary Schools: Theory, Instrumentation, and Intervention. Paper presented at the Australian Association for Research in Education Conference, November 25-29, 2007. Freemantle, Australia.

Crothers, L. M., & Kolbert, J. B. (2008). Tackling a problematic behavior management issue: Teachers’ intervention in childhood bullying problems. Intervention in School and Clinic, 43, 13–139.

Elliot, M (ed). (2008). Bullying, A Practical Guide to Coping for Schools, 3 edition. London: Pearson Education in association with Kidscape.

Hajaroh, M., Efianingrum, A., Andriani, L., & Rukiyati. (2009). Pelatihan respect education bagi guru untuk mencegah kekerasan di sekolah dasar. Artikel Kegiatan PPM. Universitas Negeri Yogyakarta.

Hirschstein, H. S., Edstrom, L. S., Frey, K. S., Snell, J. L, & MacKenzie, E. P. (2007). Walking the talk in bullying prevention: Teacher implementation variables related to initial impact of the Steps to Respect program. School Psychology Review, 36, 3-21.

Hurlock, E. B. (2008). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Terjemahan (sedisi ke 5). Jakarta: Erlangga.

National Youth Violence Prevention Resource Center. (2002). Facts for Teens: Bullying. Tersedia: http://www.safeyouth.org.

Newman, D., & Horne, A. (2004). Bully Busters: A Psychoeducational Intervention for Reducing Bullying Behavior in Middle School Student. Journal of Counseling and Development : JCD; Summer 2004; 82, 3; ABI/INFORM Global pg. 259-256.

Newman, D.A., Horne, A.M., & Bartolomucci, L. (2000). Bully buster: A teacher’s manual for helping bullies, victims, and bystanders. Champaign, IL: Research Press.

Nugroho, S. (2009). Program Psikoedukasi untuk meningkatkan Pengaturan dan Ketrampilan Guru dalam Menangani Bullying (Tesis tidak diterbitkan). Program Profesi Psikologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Olweus, D. (1993). Bullying at school: What we know and what we can do. Oxford: Blackwell.

Rigby, K. (2003). Consequences of Bullying in schools. Canadian Journal of Psychiatry, 48, 583-590.

Sarwono, S. W., & Meinarno, E. A. (2009). Psikologi Sosial. Jakarta: Penerbit Salemba Humanika.

SEJIWA. (2006). Bullying : masalah tersembunyi dalam dunia pendidikan di Indonesia. Diunduh pada 10 Februari 2010. Dari: http://www.sejiwa.org/en/index. php?option=com_content&task=view.

Swearer, S.M., & Espelage, D.L. (2011). Expanding the social-ecological framework of bullying among youth: Lessons learned from the past and directions for the future. In D.L. Espelage & S.M. Swearer, (Eds.). Bullying in North American schools (2nd edition) (pp. 3-10). NY: Routledge.

Ting, L., Sanders, S., & Smith, P. (2002). The teacher’s reaction to school violence scale: Psychometric properties and scale development. Educational and Psychological Measurement, 62(6), 1006-1019. doi: 10.1177/0013164402238087.


Artikel Ilmiah Psikologi Populer ini diterbitkan oleh Buletin Jagaddhita dengan nomor pISSN 2656-8225 (cetak) dan eISSN 2656-0089 (media-online).
Jika Anda ingin menerbitkan artikel ilmiah Anda, silahkan kirim naskah tulisan ke redaksi@jagaddhita.org.

Cara Pengutipan:

Wahyu Sitasari, Novendawati. 2019. Guru Sebagai Agen Perubahan Perilaku Perundungan. Buletin Jagaddhita Vol. 1, No. 4, Mei 2019. Diakses pada tanggal 21-09-2023 melalui laman https://jagaddhita.org/guru-sebagai-agen-perubahan-perilaku-perundungan/.

Artikel Psikologi Populer lainnya, yang mungkin Anda cari: