Menanamkan Sportivitas Kepada Anak Sejak Dini

“Menanglah dengan Bangga, Kalahlah dengan Sportivitas Tinggi” 

Kebanyakan dari anak-anak sulit untuk mengakui kekalahan mereka. Menangis ketika mereka kalah karena tidak sesuai dengan harapan mereka. Malu untuk bilang kepada orangtua mereka dengan hasil yang didapatkan. Takut untuk menyampaikan kepada mereka mengenai apa yang sebenarnya terjadi. Dengan berbagai alasan tersebut, dapat dikatakan mereka tidak siap untuk kalah terutama untuk menghadapi keadaan di luar apa yang menjadi harapannya. Dengan kekalahan tersebut, bukannya berusaha untuk memperbaiki kesalahan namun justru terkadang membuatnya enggan untuk mencoba tampil lebih baik.

Tahukah anda apa salah satu penyebabnya? Jawabannya adalah tuntutan dari lingkungan. Sebagian besar orang dari lingkungannya khususnya orangtuanya sendiri mengutamakan hasil dari apa yang telah dikerjakan. Bukan melihat tahapan proses apa saja yang sudah dilakukan anak tersebut sebagai bentuk usahanya untuk mencapai tujuan akhir yang diharapkannya.

Ketika anak gagal, orangtua kemudian mengatakan “kok hasilnya jelek?”, “kenapa kamu gak bisa tampil baik?”, “apa yang salah sama kamu, sehingga hasilnya tidak memuaskan?” , “kamu memalukan papa dan mama saja?” dan kalimat lainnya sebagai bentuk protes orangtua terhadap kegagalannya. Kalimat tersebut seakan-akan menuduh seorang anak bahwa dia sengaja melakukan hal tersebut untuk membuat orangtuanya malu di depan orang lain.

Berdasarkan teori ekologi yang dikembangkan oleh Urie Bronfenbrenner dalam Santrock (2004) bahwa lingkungan dimana anak-anak tinggal itu akan mempengaruhi perkembangannya.  Disini anak akan belajar mengenai pengalaman yang diterima dari lingkungannya dan kemudian akan mempengaruhinya berinteraksi dengan orang-orang yang ada di lingkungan. Hal tersebut didukung dengan teori perkembangan rentang hidup dari Erik Erikson bahwa perkembangan individu dibangun dan dibentuk dari dasar kepercayaan (trust) terhadap anak tersebut.

“Bersahabat dengan Kekalahan, Mengapa Tidak ?”

Lalu, bagaimana seorang anak akan menerima kekalahannya jika lingkungan sekelilingnya hanya memprotes hasil. Anak menjadi tidak percaya diri bahwa dia bisa berusaha untuk lebih baik.

Padahal, anak menginginkan apabila menghadapi kondisi di luar. Harapannya adalah masih ada orang yang bisa mendukungnya dan percaya, bahwa dirinya mampu untuk berusaha lebih baik. Orangtua, sebagai lingkungan terdalam anak lah yang dianggap tepat dan bisa dipercaya untuk mendukung dirinya.

Berikut  ini yang bisa anda lakukan untuk mengajaknya menerima kekalahannya sehingga ia memiliki sportivitas yang tinggi :

  1. Fokuslah pada usaha yang telah dilakukan anak. Ia telah berusaha melakukan tugasnya dengan sebaik mungkin. Ajaklah anak untuk melihat apa saja yang sudah dilakukannya. Kemudian setelah itu ajaklah ia untuk berdiskusi mengenai apa saja yang perlu dilakukan untuk memperbaiki usahanya sehingga kedepannya bisa berhasil.
  2. Tunjukkan dengan ekspresi wajah anda yang bangga bahwa anak anda telah berusaha untuk melakukan banyak hal. Tidak dipungkiri ketika orangtua kecewa ketika anaknya gagal, namun kekecewaan anda akan membuatnya merasa kecil hati karena anak juga merasa telah mengecewakan orangtuanya. Seperti yang diungkapkan oleh Gregg Braden, hati (jantung) manusia dikelilingi oleh medan magnet yang sangat besar dengan diameter kira-kira 2.5 meter sehingga ketika orangtua kecewa dengan anaknya, anak pun dapat merespon kekecewaan tersebut. Dengan sikap anda yang fokus pada proses yang telah dilakukan seorang anak bukan pada hasilnya membuatnya berusaha menerima apa yang sudah dikerjakan dan membantu menghargai dirinya sendiri.
  3. Mengedepankan kalimat yang sifatnya suportif. Kalimat yang dapat mendukung seorang anak untuk selalu percaya pada kemampuan yang dimilikinya. Sebagai orangtua anda bisa mengatakan bahwa saat ini dirinya memang kalah, namun ia tetap seorang anak yang “hebat” karena telah melakukan banyak hal untuk mencapai tujuannya. Katakan untuk “tetap semangat” untuk memperbaiki apa yang telah dikerjakannya. Yakinkan dirinya bahwa “ada anda sebagai orangtua yang siap untuk mendukungnya kapan saja”. Dengan kalimat suportif tersebut membuatnya tetap percaya diri dengan kemampuan yang dimilikinya.
  4. Doronglah anak untuk mengikuti kompetisi sebanyak mungkin sesuai dengan minatnya. Diharapkan dengan seringnya ia mengikuti kompetisi ia mampu mengukur seberapa kemampuannya dibandingkan dengan lawan mainnya kemudian ia bisa mengevaluasi apa yang bisa dikerjakan untuk meningkatkan kemampuannya. Di samping itu ketika ia menang ia pun tidak mudah puas dengan kemampuannya karena ia pun juga menyadari lawannya semakin tangguh untuk setiap kompetisi. Ketika kalah pun, ia tetap tersenyum dan tetap bangga dengan apa yang telah dikerjakan.

Dengan alternatif cara tersebut diharapkan seorang anak bisa bersahabat dengan kekalahannya. Dan menjadikan kekalahannya sebagai bentuk motivasinya untuk meningkatkan kemampuannya sehingga hasil yang didapat pun semakin baik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *