Diantara sekian banyak permasalahan pendidikan di Indonesia, salah satu isu cukup menarik adalah penanganan anak slow learner. Seringkali pada jenjang pendidikan dasar, anak slow learner berulang kali tidak naik kelas. Kondisi yang demikian jelas berpengaruh negatif terhadap self esteem anak-anak tersebut (Curtis & Shaver, 1981). Banyak diantaranya yang kemudian memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolah formal.
Apabila kondisi tersebut dibiarkan maka akan menambah angka putus sekolah, yang secara tidak langsung turut berpengaruh pada kualitas anak bangsa di masa yang akan datang. Indikasi slow learner yang sering dijumpai adalah anak tampak lambat dalam menyerap materi pelajaran yang diajarkan (Bendak, 2018). Apabila anak seusianya dapat memahami penjelasan guru dengan satu atau dua kali pengulangan, maka pada anak slow learner membutuhkan lebih banyak pengulangan.
Siapakah Slow Learner?
Secara teoritis, slow learner sendiri bukan bagian dari label diagnosis sebagaimana intellectual disabilities (sebelumnya disebut Retardasi Mental/Tuna Grahita). Taraf intelektual rata rata berada pada rentang IQ 90-110 (skala Binet maupun Wechler). Sedangkan pada mereka yang mengalami intellectual disabilities berada pada rentang IQ 60 ke bawah.
Ruang yang berada di antara intellectual disabilities dan manusia rata-rata inilah yang biasa dikenal dengan slow learner (Cooter & Cooter, 2004). Mereka seperti orang kebanyakan, namun sedikit lebih lambat dalam memproses informasi. Mereka membutuhkan waktu yang lebih panjang dalam belajar dibandingkan dengan orang lain yang memiliki inteligensi pada taraf rata-rata.
Pada umumnya pola pendidikan sekolah di Indonesia dikondisikan untuk siswa dengan taraf inteligensi rata-rata. Anak-anak slow learner ini pasti akan kesulitan mengikuti apabila menggunakan pola umum tersebut.
Apabila anak slow learner ditempatkan bersama anak yang mengalami intellectual disabilities, mereka akan tampak jauh lebih pintar dibanding anak-anak dengan intellectual disabilities tersebut. Sebuah dilema bagi pendidik dan psikolog untuk menempatkan anak slow learner dalam pendidikan formal.
Dilema tersebut biasanya diatasi dengan menempatkan siswa disekolah berdasar pada taraf inteligensinya (Krishnakumar, dkk., 2011). Guru akan menyesuaikan standar dan pola yang tepat saat mengajar di kelas dengan siswa slow learner agar pembelajaran berlangsung efektif (Malik, Rehman & Hanif (2011).
Pendidikan bagi anak Slow Learner
Untuk mengakomodir pendidikan bagi anak slow learner, diperlukan adanya penyesuaian waktu tempuh yang lebih banyak khusus untuk anak slow learner. Penulis melihat bahwa ada semacam diskriminasi intelektual dalam pola pendidikan yang ada sekarang. Seperti untuk anak-anak gifted (yang memiliki IQ diatas rata-rata) terfasilitasi dengan program akselerasi, Pemerintah juga menyediakan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus di SLB (termasuk di dalamnya bagi yang mengalami intellectual disabilities).
Sedangkan bagi anak slow learner belum difasilitasi program khusus misalnya untuk sekolah dasar yang seharusnya ditempuh dalam waktu 6 tahun, kemudian dapat ditempuh dalam waktu 7 tahun. Dengan catatan anggota kelas ini adalah anak-anak slow learner yang dari awal sekolah mereka berada pada kelas yang sama, dengan sistem seleksi yang terstandardisasi.
Pola pendidikan khusus bagi anak slow learner ini menurut penulis sangat diperlukan. Sebab mereka memiliki tingkat kemampuan yang berbeda jika disandingkan dengan anak yang mengalami intellectual disabilities (Sangwan & Duhan, 2009).
Capaian belajar anak slow learner pun tidak bisa disamakan seperti anak-anak kebanyakan (dengan inteligensi rata-rata). Arahan yang tepat pada dunia praktis yang memberdayakan akan membuat mereka dapat bersaing dikemudian hari.
Para pendidik sudah waktunya mengganti paradigma dan sudut pandangnya terhadap anak slow learner (Ahmad, dkk., 2015). Anak slow learner memiliki karakteristik yang unik. Dengan berbagai permasalahan belajar yang dihadapi anak slow learner di sekolah,maka perlu dirancang program khusus yang sesuai dengan kebutuhan pendidikan masing-masing individu yang mungkin selama ini masih mengikuti program umum di sekolah.
Daftar Pustaka
Ahmad, S. S., Shaari, M. F., Hashim, R., & Kariminia, S. (2015). Conducive attributes of physical learning environment at preschool level for slow learners. Procedia-Social and Behavioral Sciences, 201, 110-120.
Bendak, L. (2018). Effects of Applying Repeated Readings Method on Reading Fluency and Passage Comprehension of Slow Learners. Middle East Journal of Family Medicine, 16(1), 232-37.
Cooter, K. S., & Cooter Jr, R. B. (2004). One size doesn’t fit all: Slow learners in the reading classroom. The reading teacher, 57(7), 680.
Curtis, C. K., & Shaver, J. P. (1981). Improving slow learners’ self-esteem in secondary social studies classes. The Journal of Educational Research, 74(4), 217-223.
Krishnakumar, P., Jisha, A. M., Sukumaran, S. K., & Nair, M. K. C. (2011). Developing a model for resource room training for slow learners in normal schools. Indian journal of psychiatry, 53(4), 336.
Malik, N. I., Rehman, G., & Hanif, R. (2011). Effect of academic interventions on the developmental skills of slow learners. Pakistan Journal of Psychological Research, 27(1), pp-135.
Sangwan, S., & Duhan, K. (2009). Impact of intervention package on mental abilities of 5-6 years old slow learners. Journal of Dairying Foods & Home Sciences, 28.