Penerapan psikologi dalam bidang olahraga mulai menjadi perhatian publik Indonesia setelah perhelatan Asian Games maupun Asian Paragames tahun 2018 lalu. Banyak psikolog dilibatkan dalam peningkatan kapasitas mental atlet sebelum bertanding maupun terjun langsung ke lapangan untuk memberikan pendampingan psikologis. Pelibatan kajian psikologi dalam olahraga ini mengisyaratkan bahwa semboyan Mensana in corpore sano (di dalam tubuh yang sehat, terdapat jiwa yang kuat), telah menjadi suatu keutuhan jiwa dan raga, tidak lagi hanya sebatas semboyan.
Mensana in corpore sano, semboyan olahraga, sudah seharusnya diterapkan baik olahraga prestasi seperti yang dipertandingan di Asian Games maupun Asian Paragames, maupun semua kegiatan olahraga di masyarakat tanpa kecuali. Semboyan tersebut sudah selayaknya menjadi ruh dalam berolahraga dan menginsipirasi kegemaran olahraga di masyarakat, demi jiwa yang kuat atau dengan kata lain demi kondisi psikologis yang utuh.
Olahraga dan Kondisi Psikologis
Menurut data dari Riset Kesehatan Dasar 2013, sebanyak 26,1% penduduk Indonesia kurang melakukan aktivitas fisik. Sedangkan survey di tahun 2018, angka tersebut mengalami kenaikan menjadi 33.55%. Artinya aktivita fisik masyarakat Indonesia semakin berkurang. Kurangnya aktivitas fisik tersebut bisa menjadi pemicu munculnya beragam penyakit yang menjadikan tubuh dan jiwa tidak sehat. Sesuai prinsip Mensana in corpore sano, tubuh yang tidak sehat tentunya akan berdampak pula pada kondisi psikologis yang kurang optimal.
Olahraga atau aktivitas fisik teratur, tidak hanya menjadi aktivitas yang berfokus pada olah tubuh saja, namun juga aktivitas yang berkait antara pikiran, tubuh, dan juga jiwa (Susetyo, 2013). Tubuh dan jiwa, fisik dan psikologis (kognisi dan afeksi) memiliki hubungan yang saling terkait satu sama lain. Beck & Dozois (2011) mengatakan bahwa pikiran yang tidak rasional, akan berdampak pada kondisi emosi yang tidak stabil, yang pada akhirnya menjadikan individu bertindak maladaptif terhadap situasi yang dihadapinya. Perilaku maladaptif tersebut dapat memicu munculnya gejala-gejala yang mengarah pada kondisi fisik yang tidak sehat, dan demikian juga sebaliknya.
Hanya saja, olahraga, dengan manfaat yang dimiliki, pada kenyataan saat ini, tidak semua anggota masyarakat menikmati terlibat didalamnya. Tidak banyak masyarakat menjadikan olahraga/aktivitas gerak teratur sebagai aktivitas senggang (leisure activity) yang dinantikan. Hal tersebut perlu menjadi perhatian, karena jika anggota masyarakat tidak lagi tertantang untuk melakukan aktivitas fisik sebagai kegiatan waktu luang yang menyenangkan diluar aktivitas resmi (Han dan Patterson, 2007), maka secara tidak langsung akan berpengaruh pada kondisi psikologis masyarakat.
Beragam pengaruh akan kurangnya aktivitas masyarakat terhadap kondisi psikologis, dapat dilihat dari munculnya banyak tindakan/perilaku maladaptif di masyarakat. Seperti masyarakat mudah tersulut emosi, mudah terpancing untuk melakukan tindakan kekerasan, kurangnya toleransi terhadap orang lain, merasa kelompoknya paling benar, dan lain sebagainya, yang banyak diberitakan di berbagai media di Indonesia. Apabila kondisi tersebut berlangsung terus menerus, maka sangat mungkin akan terjadi degradasi moral di masyarakat.
Perilaku maladaptif masyarakat tersebut dapat muncul karena kurangnya keterlibatan pada aktivitas positif untuk mengekspresikan diri. Masyarakat perlu ruang untuk ekspresi diri agar dapat menyalurkan energi-energi negatif yang dimilikinya melalui media yang benar. Aktivitas fisik dalam olahraga menjadi jawabannya.
Partisipasi dalam aktivitas fisik seperti berjalan, jogging, dan kegiatan areobik lainnya, berkontribusi terhadap kesehatan baik jangka pendek maupun jangka panjang (Han & Patterson, 2007). Dengan aktivitas tersebut, individu dapat meningkatkan perasaan positif, menghargai orang lain, dan secara langsung dapat meningkatkan kesehatan tubuh serta meningkatkan kesejahteraan psikologis individu (Han & Patterson, 2007; Trainor, Delfabbro, Anderson & Winefield, 2010). Individu yang sejahtera secara psikologis tentu akan menjadi modal untuk mewujudkan masyarakat yang juga sejahtera.
Pada akhirnya, mensana in corpore sano sudah sepatutnya dibaca tidak hanya sebagai slogan saja, tetapi sebagai bagian dari prinsip gaya hidup, dimana kesehatan fisik dan kesehatan psikologis saling mempengaruhi kualitas hidup individu menjadi pribadi yang utuh dan masyarakat yang bertumbuh secara positif.
Daftar Pustaka
Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. 2013. Riset kesehatan dasar riskesdas 2013. Diakses pada tanggal 8 Februari 2019 dari laman http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas%2023
—————. 2018. Hasil Utama Riskesdas 2018. Diakses pada tanggal 8 Februari 2019 dari laman http://www.depkes.go.id/resources/download/info-terkini/hasil-riskesdas- 2018.pdf.
Beck, Aaron T. & Dozois, David J.A (2011). Cognitive Therapy: Current Status and Future Directions. The Annual Review of Medicine 62:397–409. DOI: 10.1146/annurev-med-052209-100032.
Han, Ji-Sook & Patterson, Ian. (2007). An Analysis of the Influence That Leisure Experiences Have on a Person’s Mood State, Health and Wellbeing. Annals of Leisure Research. 10.10.1080/11745398.2007.9686770.
Susetya. Budi (2013). Spiritualitas dalam Olahraga: Mind – Body – Soul. Disampaikan dalam Diskusi Psikologi Kesehatan, 05 Juni 2013 di Fakultas Psikologi Unika Soegijapranata Semarang.
Trainor, S., Delfabbro, P., Anderson, S., & Winefield, A. (2010). Leisure Activities and Adolescent Psychological Well-Being. Journal of Adolescence, 33, 173-186. http://dx.doi.org/10.1016/j.adolescence.2009.03.013.