Dunia pendidikan Indonesia di awal tahun 2019 ini kembali menjadi sorotan publik. Berita mengenai kejadian kekerasan dalam ruang lingkup pendidikan seolah tidak pernah berhenti menjadi headline setiap tahun.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima laporan 24 kasus di sektor pendidikan dengan korban dan pelaku anak (Abdi, 2019). Tercatat jumlahnya sebanyak 17 kasus yang terkait kekerasan, yaitu tiga kasus kekerasan fisik, delapan kekerasan psikis, tiga kekerasan seksual, satu tawuran pelajar, lima kasus korban kebijakan, dan satu kasus eksploitasi.
KPAI juga menerima tiga laporan kasus yang melibatkan anak sebagai pelaku, ketiganya terkait dengan dua kekerasan fisik, yaitu di Gresik dan Takalar dan (serta) satu kasus kenakalan siswa di Ngawi, Jawa Timur. Kejadian kekerasan di dunia pendidikan, bahkan telah memakan korban dari tenaga pendidik dan tenaga kependidikan.
Dua kejadian yang viral di Gresik dan Takalar, adalah representasi kecil kasus-kasus penyerangan terhadap tenaga pendidikan ataupun tenaga kependidikan. Masih banyak kasus lain yang mungkin belum atau tidak terungkap di media.
Walaupun jumlahnya masih relatif lebih kecil dibanding kasus yang melibatkan anak sebagai korban, kejadian tersebut harus menjadi perhatian khusus bagi dunia pendidikan Indonesia, dalam hal ini Kementerian Pendidikan sebagai pemangku kebijakan. tidak dapat dipungkiri bahwa terjadinya kasus tersebut adalah suatu indikasi adanya ancaman degradasi moral, yang membutuhkan penguatan pendidikan karakter.
Akar Kekerasan Pada Remaja
Masa remaja, dengan rentang usia berkisar antara 13 sampai 17 tahun, merupakan masa perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional (Santrock, 2007).
Pada masa transisi ini tidak menutup kemungkinan akan terjadi pergolakan-pergolakan fisik, psikis, dan sosial dalam rangka remaja mencari jati dirinya. Remaja juga menghadapi tuntutan pemenuhan tugas-tugas selama masa perkembangan, yang tidak selalu dapat dipenuhi dengan mudah dan lancar.
Sering kali kebutuhan, motif, dan keinginan para remaja terhambat dan tidak dapat terpenuhi. Hambatan tersebut dapat mengakibatkan frustrasi. Ketika remaja mengalami frustasi, maka salah satu usaha yang dilakukan adalah dengan mengurangi ketegangan-ketegangan yang terjadi dengan cara memberikan reaksi pada sumber frustrasi (Widianingsih, 2013). Salah satu reaksi yang dimunculkan terhadap sumber frustasi tersebut adalah tindakan kekerasan.
Pada kasus kekerasan remaja, Benitez & Justicia (2006) menyatakan bahwa pelaku kekerasan cenderung memiliki sikap empati yang rendah, impulsif, dominan, dan tidak bersahabat. Walaupun tidak bisa dipungkiri bahwa faktor individu bukan merupakan faktor tunggal dalam pembentukan pribadi siswa. Ada faktor keluarga dan lingkungan masyarakat yang dapat mempengaruhi perkembangan kepribadian siswa.
Menilik contoh kasus penyerangan yang dilakukan oleh siswa terhadap tenaga pendidik, kasus tersebut merupakan sebuah respons terhadap teguran yang dilakukan oleh guru. Respons yang ditunjukkan adalah sebuah reaksi frustrasi negatif berupa penyerangan. Penyerangan adalah kemarahan yang meluap-luap, bisa berupa serangan dan tingkah laku bermusuhan terhadap orang atau benda karena mengalami kegagalan (Kartini Kartono, 2003). Sikap empati yang rendah, memungkinkan munculnya respon negatif yaitu perilaku yang langsung menantang guru ataupun tenaga kependidikan di depan siswa-siswa lain.
Pendidikan Karakter
Reaksi terhadap frustrasi pada dasarnya adalah hal yang alami sebagai sebuah mekanisme pertahanan diri. Reaksi frustrasi akan menjadi lebih baik ketika diarahkan dan dibiasakan untuk hal-hal yang positif. Siswa dapat diarahkan melalui kegiatan ekstrakurikuler seperti aktivitas olahraga, aktivitas keagamaan, ataupun aktivitas sosial-kemanusiaan, yang merupakan bagian terintegrasi dari pendidikan karakter.
Proses pendidikan dimaknai sebagai semua tindakan yang mempunyai efek pada perubahan watak, kepribadian, pemikiran, dan perilaku. Dengan demikian, pendidikan bukan hanya kegiatan mentransfer ilmu, teori, dan fakta-fakta akademik, atau sekadar mencetak ijazah. Pendidikan pada hakikatnya merupakan proses pembebasan peserta didik dari ketidaktahuan, ketidakmampuan, ketidakberdayaan, ketidakbenaran, ketidakjujuran, dan dari buruknya hati, akhlak, dan keimanan (Mulyasa, 2011:2).
Penguatan pendidikan karakter adalah gerakan pendidikan di sekolah untuk memperkuat karakter siswa melalui harmonisasi olah hati (etik), olah rasa (estetis), olah pikir (literasi) dan olah raga (kinestetik) dengan dukungan pelibatan publik dan kerja sama antara sekolah, keluarga, dan masyarakat (Budhiman, 2017).
Pendidikan karakter (Gunawan, 2012) adalah pendidikan untuk membentuk kepribadian seseorang melalui pendidikan budi pekerti, yang hasilnya terlihat dalam tindakan nyata seseorang, yaitu tingkah laku yang baik, jujur bertanggung jawab, menghormati orang lain, dan pekerja keras.
Dengan pemahaman pendidikan karakter yang baik bagi para siswa, maka sebenarnya telah memposisikan siswa tersebut dalam kondisi keseimbangan Emotional Intelligence (EI) yang baik (Mayer, 2004). Terdapat tiga level intervensi yang harus dicermati dalam pengelolaan pendidikan karakter (Hermino, 2015) yaitu:
- Managing individual yang dilakukan pada tataran siswa. Pada level ini semua informasi mengenai kondisi anak akan dicermati oleh guru secara individu, khususnya bagi anak-anak yang mempunyai catatan khusus terutama dari kondisi lingkungan keluarga. Peran guru, khususnya wali kelas sangat penting pada tahap ini karena selain berperan sebagai pengajar dan pendidik, maka wali kelas adalah wakil orang tua yang diharapkan dapat menjadi pendukung bagi perkembangan dan kemajuan pendidikan bagi anak tersebut.
- Managing groups, yang dalam hal ini adalah pada tataran kelas. Peran masing-masing guru mata pelajaran dalam berkoordinasi dengan wali kelas sangat penting, karena setiap guru mata pelajaran akan mencermati setiap siswanya dalam kelas yang selanjutnya akan dikoordinasikan dengan wali kelas.
- Managing mainstream systems, mencakup pada tataran sekolah. Guru mata pelajaran, wali kelas, berkoordinasi dengan kepala sekolah mencermati proses belajar mengajar secara keseluruhan, serta kebijakan sekolah dalam hal perilaku siswa dalam pendidikan.
Oleh karena itu, peristiwa penyerangan terhadap tenaga pendidik seharusnya dapat dicegah dengan memperkuat kembali moral, budi pekerti serta etika siswa melalui Penguatan Pendidikan Karakter. Penguatan pendidikan karakter dapat terlaksana dengan baik apabila terjadi sinkronisasi antara seluruh stakeholder pendidikan baik sekolah sebagai pelaksana pendidikan, pemerintah sebagai pemangku kebijakan, maupun masyarakat sebagai pewaris nilai-nilai moral dan sosial.
Daftar Pustaka
Abdi, Alfian Putra. (2019). KPAI: 24 Kasus Anak di Sekolah pada Awal 2019 Didominasi Kekerasan. Diakses pada tanggal 20 Februari 2019 dari laman https://tirto.id/kpai-24-kasus-anak-di-sekolah-pada-awal-2019-didominasi-kekerasan-dg8o
Budhiman, Arie. (2017). Gerakan Penguatan Pendidikan Karakter. Paparan. Jakarta : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Benitez, J. L., & Justicia, F. (2006). Bullying: Description and analysis of the phenomenon. Electronic Journal of Research in Educational Psychology, 4 (9), 151-170. Diunduh pada tanggal 20 Februari 2019 melalui laman https://www.researchgate.net/publication /228377096 _ Bullying_Description_and_ Analysis_of_the_Phenomenon
Gunawan, H. (2012). Pendidikan Karakter. Konsep dan Implementasi. Bandung: Alfabeta.
Hermino, Agustinus. (2015). Pendidikan Karakter dalam Perspektif Psikologis Siswa Sekolah Menengah Pertama di Era Globalisasi dan Multikultural. Jurnal Peradaban, [S.l.], v. 8, p. 19-40, dec. 2015. ISSN 2636-9257. Diunduh pada tanggal 20 februari 2019 dari laman https://ejournal.um.edu.my/index.php/ADAB/article/view/4732. doi: https://doi.org/10.22452/PERADABAN.vol8no1.2.
Kartono, Kartini. (2003). Psikologi Sosial. Jakarta: Rajawali Pers.
Mayer, J.D., Salovey, P., Caruso, D.R. (2004). Emotionalle Inteligence. Theory, Findings,
and Implications. International Journal of Psychological, Vol.15, No.3, 197-215 diunduh pada tanggal 20 Februari 2019 melalui laman http://www.calcasa.org/wp-content/uploads/files/ei2004 mayersaloveycarusotarget.pdf.
Mulyasa, H.E. (2011). Manajemen Kepemimpinan Kepala Sekolah. Jakarta: Bumi Aksara.
Ria Widianingsih. (2013) Hubungan Antara Reaksi Frustrasi Dengan Perilaku Agresif Remaja SMP N 2 Kalasan. Skripsi. Yogyakarta : Universitas Negeri Yogyakarta.
Santrock, J.W. (2007). Remaja. Jakarta: Erlangga.