Hubungan Gangguan Jiwa dengan Pengungkapan Perasaan dan Pikiran
Kesehatan jiwa merupakan salah satu permasalahan yang disoroti di Indonesia. Berdasarkan data World Health Organization (WHO) tahun 2016, 35 Juta orang terkena depresi, 40 juta orang terkena bipolar, 21 juta terkena skizofrenia, serta 47, 5 juta terkena demensia. Dalam paparan materi peran keluarga dukung kesehatan jiwa masyarakat oleh Kementrian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2016, gangguan jiwa mengalami pertambahan tiap tahunnya.
Ada sejumlah faktor penyebab seseorang mengalami gangguan jiwa. Kring, Johnson, Neale, & Davison (2013) menyebutkan bahwa faktor yang melatarbelakangi gangguan jiwa diantaranya adalah faktor biologis, psikologis, dan sosial. Faktor biologis diantaranya faktor bawaan, kecelakaan, cedera di bagian otak, degeneratif. Faktor psikologis diantaranya kepribadian yang kurang matang, frustrasi karena ada kesenjangan antara harapan dan kenyataan, pengalaman masa lalu dan konflik dalam diri yang belum dapat di selesaikan. Faktor sosial terkait dengan permasalahan sosial antara lain permasalahan ekonomi, hubungan dalam keluarga, relasi dengan orang lain, masalah pekerjaan dan terkait berbagai tekanan dari lingkungan.
Umumnya, pasien yang datang ke psikolog atau psikiater datang dengan mengeluhkan permasalahan yang banyak dan kesulitan menentukan prioritas masalah yang akan diselesaikan terlebih dahulu. Permasalahan terasa banyak karena ketidakmampuan seseorang untuk mengungkapkan pikiran dan perasaannya kepada orang lain sehingga stres yang dialami lebih banyak dipendam. Akibatnya, hal tersebut membuatnya kebingungan dan merasa memiliki permasalahan yang banyak.
Berdasarkan pengalaman dari praktek klinis penulis dan sesuai dengan pemaparan materi oleh Kemenkes tahun 2016 mengenai peran keluarga dukung kesehatan jiwa masyarakat bahwa relasi yang kurang harmonis dalam keluarga menjadi salah satu pemicu adanya gangguan psikis. Misalnya, komunikasi yang terhambat antar anggota keluarga, pola asuh orang tua terhadap anak yang kurang efektif semakin membuat permasalahan dirasakan lebih kompleks. Selain itu, ada faktor lain yang membuat masalah terasa semakin besar, yaitu kurang matangnya kepribadian, kurang tangguhnya dalam menyelesaikan permasalahan, dan terhambatnya komunikasi antar anggota keluarga membuat ekspresinya juga terhambat
Terhambatnya seseorang dalam mengemukakan isi pikiran dan perasaan kepada orang lain membuat seseorang lebih banyak memendam perasaan dan banyak pikiran. Hal tersebut membuat seseorang mengeluhkan permasalahan-permasalahan seperti sulit tidur, badan lemas, tidak bergairah, nafsu makan berkurang, enggan berinteraksi dengan orang lain. Gejala-gejala yang mengarah pada gangguan depresi sesuai dengan Maslim (2013) di Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa.
Permasalahan lebih berat memungkinkan munculnya halusinasi, delusi (waham), rawat diri yang kurang, dan perilaku menjadi maladaptif. Jika gejala-gejala tersebut dialami, maka akan mengarah pada adanya gangguan skizofrenia. Perasaan yang naik turun (mood swing), gelisah, cemas, khawatir yang berlebihan yang diakibatkan dari pemikirannya sendiri karena sulit mengemukakan kepada orang lain sesuai pengalaman pasien yang datang ke ruang praktek klinis. Oleh karena itu, mengekspresikan pikiran dan perasaan merupakan hal yang penting. Menulis merupakan salah satu sarana yang bisa dilakukan untuk mengekspresikan pikiran dan perasaan.
Terapi Menulis untuk Penanganan Permasalahan Psikologis
Menulis membantu seseorang dalam menuangkan isi pikiran, perasaan, pengalaman dan permasalahannya selama ini yang tidak bisa diungkapkan. Berdasarkan analisis naratif hasil penelitian yang dilakukan oleh Susilowati dan Ul Hasanat (2011) mengenai pengaruh terapi menulis pengalaman emosional terhadap penurunan depresi pada mahasiswa tahun pertama, menunjukkan hasil bahwa melalui menulis, subyek dapat menuliskan segala permasalahan yang dialami berikut dampak terhadap subjek, yaitu gejala dari depresi (putus asa, perasaan sedih berlebihan, perasaan bersalah dan tidak berminat melakukan aktivitas).
Di samping itu, melalui tulisan yang dihasilkan dapat memfasilitasi subyek untuk mengembangkan pemikiran tertentu berkaitan dengan kejadian yang dialami. Subyek dapat mengembangkan pikiran untuk menerima situasi yang ada, memusatkan pemikiran pada hal positif dan menilai hal positif yang pernah dialami. Hal tersebut mendorong subyek untuk mendapatkan pemahaman atau insight sehingga memunculkan rasa optimis dan mampu mengembangkan harapan subyek.
Hasil temuan tersebut sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rahmawati (2014) bahwa melalui terapi menulis ekspresif mampu menurunkan tingkat stress pada anak-anak korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Pada penelitian ini subyek diminta untuk menuliskan segala pengalaman dan hal-hal yang dialami serta perasaan di dalamnya. Dermikian halnya dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Fitria, Faradina, Rizqina, Jannah, Fajri, Hadi, Sari, A’la (2016) bahwa menulis sebagai media dan sarana untuk berkeluh kesah tanpa batasan pada anak-anak yang ada di panti asuhan.
Keberhasilan terapi menulis juga dapat dilihat dari terapi yang penulis lakukan terhadap pasien PA dan DF di praktek klinis mandiri. Penulis mendapatkan hasil bahwa keduanya merasa lega setelah menuliskan pengalamannya. Pasien PA mengaku merasa puas bisa mengemukakan segala perasaan, pikiran dan permasalahannya setelah menulis. Selama proses terapi berjalan, pasien PA menyadari ternyata dirinya memiliki banyak potensi, kelebihan dan prestasi. Hal tersebut membantunya untuk lebih percaya diri bertemu dengan orang lain. Lain halnya dengan DF, ia merasa selama ini dirinya kurang bersyukur setelah menuliskan kelebihan dan prestasi yang didapat. DF pun mendapatkan insight bahwa ternyata dirinya selama ini berharga karena bisa mendapatkan kesempatan dari banyak hal dibandingkan orang lain. DF pun merasa lega ketika menulis bisa menangis dan menuangkan segala isi pikirannnya. Reaksi fisik DF seperti pusing dan badan merasa pegal pun berkurang.
Mari Menulis
Menulis bisa dilakukan oleh siapa saja. Terutama saat kita sulit untuk mengemukakan isi pikiran dan perasaan yang dimiliki. Pennebaker (2018) dalam tulisannya mengenai terapi menulis ekspresif, menjelaskan bahwa sejak dirinya meneliti mengenai topik tersebut, ia mendapatkan respon yang positif dari berbagai pihak. Terapi menulis ekspresif ini merupakan proses terapeutik yang dapat digunakan oleh seorang praktisi di bidang klinis maupun ilmuwan dalam sebuah penelitian.
Menulis dapat membantu mengurangi gejala gangguan psikis karena menulis membantu untuk menuangkan isi pikiran, perasaan, pengalaman dan permasalahan yang kita alami, seperti ulasan pada penelitian-penelitian sebelumnya. Mengingat menulis merupakan media dalam mengekspresikan diri tanpa batas, maka dari itu diharapkan individu dapat menulis dan mengungkapkan segala isi pikiran dan perasaan yang dialami sebagai suatu proses terapi.
Daftar Pustaka
Fitria, Faradina, Rizqina, Jannah, Fajri, Hadi, Sari, A’la (2016). Menulis Ekspresif Untuk Anak Jalanan : “Suatu Metode Terapi Menulis Dalam Diary Melalui Modul Eksperimen”. Jurnal Psikoislamedia 1(1)
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (2016). Peran Keluarga Dukung Kesehatan Jiwa Masyarakat. Disiarkan oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat, Kementrian Kesehatan RI diambil dari www.depkes.go.id/article/…/peran-keluarga-dukung-kesehatan-jiwa-masyarakat.html
Kring, A., Johnson, S. L., Neale, J. M., & Davison, G. C. (2013). Abnormal Psychology (12th ed.). New Jersey: Wiley.
Maslim, R (2013). Diagnosis Gangguan Jiwa. Rujukan Ringkas PPDGJ III dan DSM V. Cetakan Kedua. Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Unika Atma Jaya. Jakarta : PT. Nuh Jaya
Pennebaker, J.W. (2018). Expressive Writing in Psychological Science. Perspektif on Psychological Science 13(2), 226-229
Rahmawati, M. (2014). Menulis Ekspresif Sebagai Strategi Mereduksi Stres Untuk Anak-anak Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan 2(2)
Susilowati, G,T, Ul Hasanat, N. (2011). Pengaruh Terapi Menulis Pengalaman Emosional Terhadap Penurunan Depresi Pada Mahasiswa Tahun Pertama. Jurnal Psikologi 38 (1), 92-107
World Health Organization (WHO) (2016). Mental Disorders. Diambil dari https://www.who.int/mental_health/management/en/